Monday, December 7, 2015

Journey to Pregnancy

Sudah hampir dua tahun sejak saya menikah dengan suami, tapi masih belum diberi kepercayaan dari Yang Kuasa untuk mempunyai keturunan, awalnya sih saya santai aja, maklum jarak waktu pacaran sama menikah juga terbilang cepat. Lagian teman-teman dekat saya yang sudah menikah juga kebetulan punya anaknya juga jangka waktunya rata-rata lebih dari setahun.
Waktu itu juga di rumah orang tua masih ada ponakan yang balita, jadi lumayan buat ngelatih momong anak. Sampai pada suatu waktu ponakan saya kembali ke asalnya di luar pulau, saya jadi merasa lumayan kehilangan, trus akhirnya rundingan sama suami untuk promil (program hamil).
Kebetulan juga Arum sahabat saya waktu itu baru berhasil promil dan merekomendasikan dr. Fredy di RSIA Lombok Surabaya. Bulan Agustus 2015 kami memulai promil, saya di USG dinyatakan sehat, hasil tes lab suami juga dinyatakan sehat, periode bulanan saya juga lancar & teratur, selanjutnya cuma konsumsi Folavit 400 (asam folat) dan Santa E (vitamin E) sehari sekali, kalau bulan depan saya masih mens pada hari pertama/kedua disuruh balik control.

Akhirnya pertengahan September saya kedatangan tamu, tapi ternyata waktu itu dokternya cuti (yaelaahh... dok). Saran Arum coba WA (whatsapp) aja dokternya biasanya di balas. Selanjutnya saya turuti saran Arum, di balas lah wa saya dengan saran konsumsi profertil sekali sehari selama lima hari mulai dari hari ke dua menstruasi. Seharusnya seminggu setelah menstruasi hari terakhir saya usg untuk melihat dampak profertil tersebut apakah bekerja atau tidak. Nah, fungsi profertil ini untuk merangsang ke dua telur agar subur. Kalau kata dokter secara alamiah telur akan matang bergantian, jadi kalau bulan ini yang matang sebelah kanan, maka bulan depan sebelah kiri dst. Jadi ada kemungkinan sperma nyasar ke telur yang tidak matang, sehingga dengan profertil ini diharapkan telur matang dua-duanya dan sperma dapat membuahi telur yang matang tersebut, dalam hal ini bisa jadi sperma membuahi ke dua telur yang matang itu tadi sehingga yang terjadi adalah ... Voila, anak kembar!

Karena dokter sedang cuti jadi saya rasa bulan September promil kurang optimal sehingga bulan Oktober masih kedatangan tamu, kali ini sama seperti sebelumnya dengan mengkonsumsi profertil di mens hari ke-dua selama lima hari terus seminggu setelah mens terakhir saya kembali control ke dokter untuk di cek apakah ke dua telur matang, well alhamdulillah baik semua sesuai rencana, selanjutnya ya disuruh rutin berhubungan.

Di bulan Oktober saya mulai telat mens, test pack juga hasilnya positif, akhirnya control ke dokter dinyatakan hamil empat minggu, pas di usg masih kelihatan kantung aja dan disuruh kembali lagi dua minggu berikutnya untuk pemeriksaan lebih lanjut. Waktu tahu rasanya hamil ya senang campur deg-degan karena kata dokter masih banyak kemungkinan terjadi selama belum terdengar detak jantung dan embrio belum kelihatan, tapi kok saya merasa nggak morning sickness dan 3L (lemah, letih, lesu) seperti teman-teman di kantor saya kalau lagi hamil muda. Memang saya mual, tapi biasanya sore hari dan nggak sampai banyak keluar muntah, cuma huwek..huwek aja, browsing-browsing katanya harus waspada karena bisa jadi ada gangguan di janin, tapi dari teman yang sedang hamil enam bulan juga katanya dia nggak pake mual. Ya sudahlah...

Dua minggu kemudian saya periksa lagi, awalnya usg lewat perut, sampai dokter agak menekan perut saya dibilang gambarnya burek (buram), akhirnya usg trans vaginal, lama dokter memperhatikan monitor sambil geser-geser alatnya, saya yang sedang berbaring sambil mengamati monitor juga udah feeling nggak enak karena saya sendiri juga belum melihat embrionya, akhirnya dokter menyatakan BO (blighted ovum) kalau istilah umum dokter menjelaskan dimana telur ada putihnya tapi nggak ada kuningnya, jadi semacam telur yang nggak ada inti telurnya. Akhirnya dokter ngasih semangat dan menjelaskan kemungkinan penybab-penyebabnya dan menjelaskan macam-macam kasus yang lebih parah, susternya juga ikutan ngasih semangat (favorit deh sama susternya). Keputusan akhir harus kuret, saya minta hari sabtu aja biar jadwal agak longgar. Awal dijelasin dokter saya masih manggut-manggut aja sambil bilang ho... gitu ya dok, ho... gini ya dok. Pulang ke rumah berkaca-kaca aja, besoknya baru kerasa tuh.. tiap abis sholat pasti sesenggukan. Tapi cuma dua hari aja kok, mulai merenung mungkin saya kurang berbuat baik dsb sambil positive thinking.